Rambu-rambu dalam Hubungan Suami Istri (Jima’)

chocolate-butterflyPertama, hendaklah seorang istri bersegera memenuhi ajakan suaminya jika tidak ada halangan syar’i yang menghalanginya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang lelaki mengajak istrinya untuk keperluannya (jima’), hendaklah istrinya mendatanginya sekalipun ia sedang berada di dapur.” (HR At Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila seorang lelaki mengajak istrinya ke peraduan lalu istrinya tidak mendatanginya dan semalam suaminya marah kepadanya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi.” (HR Bukhari No. 5194 dan Muslim No. 1436)

Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut mengandung makna betapa pentingnya seorang istri untuk segera memenuhi ajakan suaminya untuk memadamkan gejolak birahinya secara halal. Penolakan seorang istri tanpa alasan yang jelas apalagi jika sering dilakukan, dapat mengakibatkan kekecewaan mendalam, bahkan dapat menyebabkan suami melakukan penyaluran hasratnya dengan cara yang diharamkan. Karenanya, perlu bagi seorang istri memahami betul pesan nubuwah tersebut.

Kedua, tidak berjima’ ketika istri sedang haid dan tidak pada liang anusnya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang mendatangi wanita (menjima’ istrinya) yang haid atau pada liang anusnya atau mendatangi tukang ramal lalu mempercayai apa yang dikatakannyanya, maka sesungguhnya dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR At Tirmidzi No. 135, Abu Dawud No. 3904, dan Ibnu Majah No. 639)

Haid adalah kotoran, dan wanita yang sedang haid biasanya berada dalam kondisi yang lemah. Darah haid mengandung kuman, yang jika suami istri melakukan jima’ maka dapat berpengaruh pada kesehatan mereka. Karenanya, pasangan suami istri perlu menjauhi jima’ pada kondisi ini. Allah berfirman,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari (tidak menyetubuhi) wanita saat haid dan janganlah mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (Terjemah QS Al Baqarah [2]: 222)

Terkait larangan berjima’ pada liang anus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak mau melihat lelaki yang mendatangi istrinya pada liang anusnya.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
Dan ketika Allah menurunkan ayat,
“Istri-istrimu adalah lahan tempat kamu bercocok tanam. Oleh karena itu, datangilah tempat bercocok tanammu dari arah mana saja kamu sukai.” (Terjemah QS Al Baqarah [2]: 223)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan maksudnya, “(Datangilah) dari depan dan dari belakang tetapi jauhilah liang anus dan masa haid.” (HR At Tirmidzi No. 2980)

Yang diperbolehkan ketika istri sedang haid adalah bercumbu rayu, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan kepada seseorang di antara kami untuk mengenakan kain kemudian suaminya boleh tidur bersamanya.” Pada lain kesempatan Aisyah berkata, “boleh mencumbuinya (bersenang-senang dengannya).” (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila menghendaki sesuatu dari istri yang haid, beliau meletakkan kain pada liang vaginanya.” (HR Abu Dawud)

Ketiga, berdoa sebelum jima’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya seseorang di antara kamu mendatangi istrinya hendaknya ia mengucapkan doa, ‘Bismillaah, Allaahumma janibnaasy syaithaana wajannibisy syaithaana maa razaqtanaa (Bismillaah, ya Allah, jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkanlah syetan dari apa yang telah Engkau karuniakan kepada kami (anak))’, apabila dia mengucapkan doa itu dan ditakdirkan mempunyai anak maka syetan tidak akan bisa membahayakannya selamanya.” (HR Bukhari No. 3031)

Keempat, hendaknya masing-masing suami istri menjaga rahasia ranjang mereka dari orang lain. Jima’ adalah hubungan yang sangat pribadi antara suami istri. Sudah selayaknya hal ini disimpan rapi hanya untuk mereka tanpa perlu dibeberkan ke orang lain. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat ialah seorang lelaki yang menggauli istrinya dan istrinya menggaulinya kemudian dia membeberkan rahasia istrinya.” (HR Muslim No. 1437)

Dari Asma’ bintu Yazid radhiyallahu anha, ia berkata, “Ketika aku berada di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada sejumlah lelaki dan wanita yang sedang duduk. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Adakah seorang lelaki yang menceritakan apa yang telah dilakukannya dengan istrinya dan adakah seorang wanita yang menceritakan apa yang telah dilakukannya dengan suaminya?” Semua yang hadir diam tak bersuara. Maka aku berkata, “Ya, demi Allah, wahai Rasulullah! Sesungguhnya mereka (kaum wanita) ini benar-benar melakukannya dan sesungguhnya mereka pun (kaum lelaki) benar-benar melakukannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan kalian lakukan! Sesungguhnya hal itu tidak ubahnya seperti syetan laki-laki yang bertemu dengan syetan wanita di jalan, lalu syetan laki-laki itu menyetubuhinya sedang orang-orang menyaksikannya.” (HR Ahmad VI/456-457)